Sabtu, 29 November 2014

Trying to hold His hand tighter than before every day

Christmas is near!
At last, I think I'll wrap this year with happy feeling.

I..., don't know, but this grateful feeling just stroke me after I had heard "Mary did You Know?"

I'm not a good follower, but I sure I still believe Jesus is the answer.

Thanks GOD!

Kamis, 20 November 2014

Penyesalan - 2009

Satu. Dua. Tiga.
Pemuda itu mulai menghitung langkahnya lagi.
Duapuluh…
Ia kehilangan hitungan. Kali ini menyerah setelah hitungan tigapuluhan, ia berusaha terus menyeret langkahnya. Membuat dirinya terlihat seperti seorang pemabuk yang berjalan gontai. Tetapi ia tidak peduli dengan semua itu. Tidak dengan pakaian compang-campingnya. Tidak dengan rambut masai, jenggot tipis yang tumbuh bebas, atau bau badannya. Atau darah yang masih menetes di kemejanya. Tidak semua hal itu.
Kali ini bukan tentang dirinya. Bukan, bukan itu. Ini menyangkut hal lain.
Bapak…, Ibu…, Adik…
Kata-kata itu terus terulang di kepalanya. Bagai kata-kata magis yang dapat menghantarkan ketiga orang itu ke hadapannya. Kembali ke kehidupannya. Saat ini.
Tetapi, seiring dengan makin banyaknya kata-kata itu di otaknya, penyesalan makin meresap ke dalam dirinya.
Penyesalan, penyesalan. 
Ia tersenyum. Mengutuk dirinya sendiri.
Perlahan, ia melambatkan langkahnya. Tidak berusaha untuk terus melangkah. Menyadari tidak memiliki tujuan. Tidak memiliki rumah. Seiring dengan pemahaman yang menusuk tajam, ingatannya kembali ke masa-masa sebelumnya. Lebih segar daripada sebelumnya.
***
Pagi itu cerah dan menyenangkan, sangat cocok untuk melakukan kegiatan di luar. Tapi, itu bukan untuknya. Setengah mengeluh, ia membuka matanya. Perlahan, ia bangkit berdiri dari kasur, kemudian meregangkan otot-ototnya. Setelah puas melemaskan otot-ototnya, ia melihat jam di dinding.
Setengah sembilan. Terlalu pagi untuk hari Minggu. Tubuhnya masih ingin merasakan bantal dan selimut. Tetapi, ia tahu, ia tidak dapat tidur lagi. Sebentar lagi pasti akan datang seorang ‘pengurus rumah’ yang membangunkannya.
Dengan malas, ia keluar dari kamar. Menyeret langkahnya menuju ruang depan.
“Pagi, Kakak!” Ia merasa mendengar seseorang menyapanya. Ia membalikkan badan, dan mendapatkan seseorang dengan muka segar berseri-seri menatapnya. Malas mengucapkan sesuatu, ia hanya tersenyum asal.
“Kak! Hari ini kita mau ke mana? Keluar yuk!” Tangan-tangan kecil mulai menarik-narik piyama tidurnya. Mengharapkan perhatian.
Dasar anak kecil, pikirnya kesal. Mengutuk ‘pengurus rumah’ yang selalu membangunkannya dengan teriakan dan cengiran tidak penting.
“Mau ke mana?” Walau bertanya, ia tidak mengharapkan jawaban. Tidak mau mengacuhkan jawaban anak di depannya.
“Ke taman bermain! Ke taman bermain!” Melihat permintaannya ada harapan untuk menjadi kenyataan, anak itu mulai melompat-lompat riang mengelilingi kakaknya.
“Iya, nanti ya,” jawabnya asal. Benar-benar mau memanfaatkan arti ambigu dari kata ‘nanti’. Entah untuk berapa kali ia berlindung pada kata mujarab itu. Dan, untuk itu, ia berterima kasih pada orang yang menciptakan kata menyenangkan itu.
“Kapan?” Tanya anak itu, mulai curiga dengan setiap jawaban berunsur ‘nanti’.
“Kapan-kapan,” ia menjawab, kembali berlindung pada kata mujarab lainnya.
“Huh! Selalu begitu! Kakak selalu bilang, nanti, kapan-kapan,” keluh anak itu.
Pemuda itu hanya tersenyum. Tidak membalas keluhan adiknya.
Masalah selesai, tinggal menunggu hari ini berakhir tanpa gangguan dari anak ini.

Pemuda itu meringis mengingat kejadian itu. Sudah berapa lama ia dan adiknya tidak pergi keluar bareng. Sebulan, kah? Atau tiga bulan? Ah, yang penting sudah lama. Terlalu lama.
Padahal, ketika adiknya belum lahir, ia selalu memimpikan seorang adik. Adik yang bisa diajak bermain bersama, berantem bersama, atau pergi bersama.
“Hah…, padahal…, dulu aku selalu ingin punya teman main bola atau basket… Lalu, teman untuk pergi bareng… Mungkin sekedar ke mall atau taman kota…,” pemuda itu tersenyum membayangkan kemungkinan itu.
“Tapi sudah terlambat…,”

Senja telah tiba. Matahari mulai tenggelam dan membiaskan cahaya terakhirnya. Sore yang indah. Tetapi, itu tidak penting. Pemuda itu sekarang sedang menghadapi makanannya. Terburu-buru. Sebentar-sebentar, ia melirik jam tangannya.
Setengah jam lagi, dan ia harus sudah ada di depan pagar rumah pacarnya. Siap pergi bersama. Mengingat hal itu, ia semakin tergesa-gesa. Kemudian, merasa tidak mungkin mengejar waktu, ia berhenti. Meninggalkan sisa makanannya, lalu berlari menuju kamarnya.
Ia membongkar-bongkar lemari pakaiannya. Menemukan baju yang pas di bagian bawah tumpukan, lalu memakainya. Setelah selesai mematu-matutkan diri di cermin untuk beberapa saat, pemuda itu kembali keluar. Kali ini mencari sepatunya.
Tidak menemukan hal yang diinginkannya, ia berteriak, “Ibu…! Sepatuku mana? Yang warnanya biru itu.” Sambil berteriak, ia menemukan sebuah majalah otomotif lama. Membukanya, lalu tertarik pada satu halaman yang sudah dibacanya dulu.
“Ibu…?” Tanya pemuda itu lagi.
Tidak beberapa lama, Ibunya muncul. Siap menceramahinya.
“Kamu gimana, sih? Sepatumu harusnya ada di rak.” Omel wanita separuh baya itu.
“Tapi aku udah cari. Gak ada! Di mana, Bu? Aku buru-buru nih!” Pemuda itu bangkit. Mendekati rak sepatu, dan mengeluarkan satu per satu kotak yang ada di sana. Mengecek dalamnya.
“Kalau gitu ada di depan pintu. Dari kemarin kamu belum masukkin ke rak sepatu, kan?” Ibunya bertanya gemas.
“Ah, iya,” pemuda itu bergegas ke depan pintu. Mendapati sepatunya.
“Udah, ya, Bu!” Ia pun mengambil kunci motor lalu keluar.
“Hei! Ibu titip garam buat di rumah, ya!”
“Ah…, kan ada warung di depan, Bu. Nanti Ibu beli sendiri saja. Da, Ibu!”
“Hati-ha…,” kata-kata itu terputus. Pemuda itu sudah terlanjur tenggelam di kegelapan malam.

Kejadian lain. Singkat. Tetapi perasaan bersalah makin menghujamnya.
Jika diingat, ia tidak pernah membereskan piringnya. Selalu di sana. Di meja makan, tergeletak dengan berantakan. Satu kesalahan kecil yang menyusahkan ibunya.
Ia juga tidak pernah mencuci, melipat, atau menyetrika baju. Tidak. Ia lebih sering membongkar tumpukan baju sembarangan lalu membiarkannya di sana. Terlihat seperti onggokan kain kotor. Dua kesalahan kecil yang menyusahkan ibunya.
Tidak juga dengan perasaan hormat. Ia sangat sering menyuruh ibunya mencarikan barang-barang untuknya. Tiga kesalahan. Kali ini makin mengukuhkan kesalahannya.
Atau dengan salam perpisahan yang layak. Ia selalu meluncur pergi sebelum ibunya selesai bicara. Empat kesalahan. Kalau begitu, aku menganggap ibuku apa?
Bahkan, bantuan yang tidak menyusahkan tidak pernah ditanggapinya dengan benar.
…, apa aku menganggap ibuku sebagai pembantu?
“Hah…, kenapa ketika sudah terlambat seperti ini aku baru menyadarinya?”

Malam. Malam menjelang. Menutupi semua hal dengan hitam kelamnya. Untuk menonjolkan rembulan pucat yang bersinar keperakan. Sementara orang lain akan terperangah dengan sinar rembulan, pemuda itu sibuk dengan I-pod dan earphone di telinganya. Sibuk menangkap suara-suara bising yang dihasilkan alat elektronik itu. Jari-jarinya menghentak-hentak di kemudi mobil. Ia telah larut dalam dunianya sendiri.
“Kak, kalau nyetir hati-hati. Kalau tidak, Bapak gantikan saja, ya?” Bapaknya di sana. Di kursi depan. Cemas dengan cara menyetir anaknya.
Pemuda itu tidak mendengar. Ia masih sibuk dengan lagu yang menghentak di telinganya.
Melihat cara menyetir anaknya, sang bapak hanya dapat mengeleng-geleng frustasi. Tetapi, masih ada hal yang membuat jantungnya tidak tenang.
“Kak, kamu sudah periksa ban belakang, kan? Mesin sudah diperiksakan? Rem aman, kan?” Bapaknya menanyakan pertanyaan bertubi. Mengharapkan jawaban yang memuaskan dari anaknya.
“Hmm…,” jawaban singkat. Antara ya, dan tidak. Tidak ada yang pernah tahu. Ia sendiri lupa maksud dari dehamannya itu.
“Kak, kamu jangan main-main, ya. Kamu sudah besar. Dan, sekarang ini, kalau kamu gak awas, kamu bisa bikin kita kece…,”

-lakaan
Ya, pasti hal itulah yang ingin disampaikan Bapak. Walau Bapak tidak sempat menyelesaikan kata-katanya, sekarang aku tahu apa maksudnya. Seketika itu aku tahu.

Belum sempat Bapaknya menyelesaikan kata-katanya, warna hitam pekat telah mendekati mobil mereka. Dengan cepat, jalan itu berbelok. Tidak tajam, tetapi pemuda itu tidak sempat memutar roda mobil atau bahkan hanya untuk mengerem.
Mobil mereka meluncur mulus ke dalam kegelapan jurang.

Satu…, dua…, tiga….
Pemuda itu kembali mencoba untuk berhitung. Mencoba meneruskan langkahnya.
Penyesalan, ya, penyesalan selalu datang terlambat. Sangat terlambat.
Hingga tidak ada waktu untuk memperbaikinya.
Sangat ingin ia memperbaikinya. Tapi. Waktu tidak dapat diputar. Kejadian yang sudah terjadi tidak dapat dihapus.
Terlambat, terlambat. Semuanya selalu terlambat.
Ia hanya bisa mengubah masa depan. Mengatur ulang kehidupannya yang akan datang.
Mencoba tersenyum pada bulan tipis dan mentari pagi, ia meneruskan langkahnya. Mengingat-ingat semua kenangan untuk dijadikan pegangan hari esok.
Untuk dirinya yang lebih baik.

Question mark


Masa Lalu


I just found this on my old blog. Still, I can completely understand this girl feeling. I think... there is part of me that doesn't change after 4 years

MASA LALU

Seorang gadis mungil duduk di ambang pintu. Gaunnya putih bersih. Rambutnya lurus lembut bagai satin hitam. Setiap hari, gadis itu duduk di sana. Menatap langit sambil menyenandungkan lagu sedih. Sebuah lagu dengan kata-kata yang hanya dimengerti olehnya. Terkadang, kau dapat melihat matanya menerawang. 

Hari ke hari, langit melihatnya. Langit penasaran.
"Hai, gadis mungil, apa yang kau lakukan di situ?" tanya langit.

"Aku menunggu," jawab gadis itu sambil tersenyum. Mata itu masih tetap menerawang.

"Menunggu?" balas langit, "Menunggu apa?"

"Hujan...,"

Dan gadis itu kembali ke dalam pikirannya. Memikirkan sesuatu yang tidak diketahui siapapun.

Hari ke hari, langit masih melihatnya.
Menunggu. Ya, pasti gadis itu menunggu hujan, pikir langit. 
Jadi, langit memeras awan-awannya dan menurunkan hujan.

Rintik-rintik kecil pun jatuh ke bumi. Menyapa gadis mungil yang menunggu. 
Menyadari hal itu, mata gadis mungil kembali ke saat kini. Kaki-kakinya mulai berlarian, kedua tangannya terbuka ke atas. Menyambut hujan.
Ia menari, berlarian, tertawa di tengah hujan. Seakan-akan kehidupan kembali kepadanya. Penuh energi dan vitalitas.

Langit yang melihat itu tersenyum. Geli melhat tingkah gadis mungil. 
Ia berkata, "Sudah, sudah, jangan terlalu lama bermain dengan hujan. Nanti kau jatuh sakit." 

"Hm...? Tapi ini hujan pertama sejak aku menunggu. Aku ingin berada di sini lebih lama lagi...," gadis mungil menengadah ke atas. Rautnya merengut tidak setuju.

"Nanti akan ku bawakan kau hujan yang lain. Sekarang kau harus masuk!" langit memperingatkan dengan senyum tersungging di bibirnya.

"Benar, ya?"

"Ya."

Dengan janji itu, sang gadis masuk ke dalam rumahnya. Hilang dari pandangan langit.

Menyadari gadis mungil telah hilang untuk sementara waktu, mau tidak mau langit kecewa. Jika hujan tidak datang, mungkin gadis itu masih berada dalam pandangannya, masih menunggu. Tetapi, langit tidak kuasa untuk tidak menurunkan hujan. Ia tidak ingin gadis itu menunggu...

Keesokan harinya, gadis itu kembali menunggu.
Kali ini ia menunggu, lalu menuntut.

"Mana hujan yang kau janjikan?"

"Nanti. Aku tidak bisa mengeluarkan hujan saat ini. Awan-awanku kering."

"Lalu, kapan aku bisa melihat hujan?"

"Jika aku sudah mendapatkan banyak air dari bumi, baru aku bisa menurunkan hujan."

"Air dari bumi? Apa bumi memberimu minum?"

"Bisa dikatakan demikian. Bumi mengirimkan air-air padaku lewat angin."

Dari sana, pertemanan antara gadis mungil dan langit dimulai. 
Mereka saling bertukar cerita. 
Langit menceritakan tentang teman-temannya.
Gadis mungil tentang kehidupannya.

Sesekali, untuk menyenangkan hati sang gadis, langit memberikan hujan yang menjalin hubungan diantara mereka. Dan, setiap saat langit melakukan hal itu, gadis mungil akan berlari keluar dari ambang pintu. Menari menyambut hujan.

Berbulan-bulan mereka melakukan hal itu.
Sang gadis untuk hujan yang dinantikannya.
Dan bagi langit agar dapat melihat gadis mungil.

Sampai suatu hari, langit menanyakan sebuah pertanyaan yang selama ini mengusiknya.

"Hei, mengapa kamu sangat ingin melihat hujan?"

"Melihat?"

"Ya, kau berkata kau menunggu di sana untuk hujan."

"Ah..., aku memang menunggu hujan... Tetapi bukan untuk melihat..." kata-kata gadis itu terputus. Jarang-jarang hal itu terjadi. Langit pun makin penasaran.

"Lalu, untuk apa?"

"Aku ingin merasakan. Setiap tetesan hujan. Setiap airnya yang jatuh di kulitku, suara rintik yang masuk ke telingaku, bau tanah yang menyapu hidungku. Semuanya itu mendatangkan kembali ingatan tentang kekasihku." gadis itu tersenyum.

"Kekasih?"

"Ya, kekasih."

Dan pembicaraan pun terhenti begitu gadis mungil kembali masuk ke dalam alam pikirannya sendiri.

Langit mendengar hal itu.
Dan langit merasakannya.
Sebentuk sakit yang muncul entah di mana.
Mengoyak-ngoyak dirinya dari dalam.
Layaknya petir mengusik awan-awan.

Hari itu hujan turun lebih deras dari biasanya.
Gadis mungil tahu itu.
Ada sesuatu yang berbeda pada hujan kali ini.
Hujan itu deras, menusuk-nusuk kulitnya. Dan mengandung sebuah kesedihan.
Seluruh kebahagiannya akan hujan tiba-tiba tersusupi oleh sebentuk kesedihan. Menguatkan kenangan-kenangan kabur yang ingin dikubur oleh gadis kecil.

Kekasihnya. 
Kekasih yang meninggalkannya.
Kekasih yang hatinya menetap pada gadis mungil, tetapi kakinya tetap berjalan mencari dunia. Mencari hutan dan gunung. Haus akan rasa dunia.

Ya, hari itu hujan juga turun dengan derasnya. 
Menusuk hati dan otak gadis mungil.
Meninggalkan pening yang dibawanya hingga tidur malam.

Perlahan, bulir-bulir air mata mengalir keluar dari mata cokelatnya. Tidak kentara dengan hujan yang memukul-mukul pipi.
Gadis mungil menangis.
Untuk apa?
Untuk kenangan buruk yang kembali timbul itukah?

Gelengan kecil otomatis dilakukannya.
Tidak. Ia tahu itu.
Ini bukan mengenai kekasihnya.
Ini mengenai langit, yang entah bagaimana dirasakannya sedang bersedih.
Ini mengenai langit, yang tiba-tiba terasa begitu jauh. Begitu sulit dijangkau.
Langit yang ketidakhadirannya menginggalkan lubang di hati gadis mungil.

Tersentak, gadis itu ketakutan.
Ia berteriak memanggil langit.
Berputar-putar dalam hujan mencari pribadi yang tertutup awan kelam itu.
Takut langit meninggalkannya.
Takut seseorang lain yang dicintainya juga pergi dari kehidupannya.

Tetapi langit telah pergi.
Ia menutup dirinya rapat-rapat dalam awan, matahari, bulan, dan bintang.
Tidak menoleh kepada gadis mungil.
Tidak ingin merasa keinginan memiliki pada hal yang tak bisa diraihnya.

***

Sore itu secercah warna oranye menghiasi keheningan langit.
Gadis mungil itu masih di sana, di ambang pintu dengan gaun putihnya.
Tetapi, jika ada yang menanyakan apa yang ditunggunya, ia akan menjawab:
“Aku menunggu langit menyapaku.”

Rasa sakit #1

Rasa sakit? 
Uhm.....
Lu kebeset apa? Lu kepentok apa?
Sehat kan?

Sorry cuy, gue ga kebeset, kepentok, ketabrak, kebanting, atau kenak bakteri/ virus.
Gue mengalami apa yang disebut "sakitnya tuh di sini"
Lebih spesifiknya, gue mengalami "krisis senioritas"
Lebih gampangnya, "gue dipermalukan, dipermainkan, diremehkan anak ingusan"

Di sini gue punya tiga pertanyaan buat diri gue sendiri:
- Senioritas? Jadi lu pengen banget dihormati?
- Dipermalukan, dipermainkan, diremehkan? Lu aja yang lebay kali
- Anak ingusan? Se-ingusan apa? Emang lu nggak?

Dalam waktu dua jam lebih sejak gue berpisah dengan anak ini (sebut saja di Budi), gue memiliki beberapa pemikiran dalam diri gue

1. Aslinya gue memang ingin dihormati, lebih tepatnya dihargai oleh semua orang, bukan hanya             orang yang lebih muda/ junior dari gue. Dan gue juga meyakini semua orang ingin dihargai oleh         orang lain, dan ada orang-orang yang ingin dihormati. Tetapi, gue memang dalam beberapa                 kesempatan menemui diri gue ingin dihormati dan gila hormat (gue ngga pengen pake kata                 'sedikit', karena memang 'gila hormat' itu menurut gue salah dan gue ga boleh memakai suatu               istilah untuk memperhalus kondisi 'gila hormat' gue). Hal ini terutama terjadi pada orang yang             meremehkan status sosial dan TERUTAMA keahlian dan kemampuan gue di bawah standar yang       gue yakini. Di lain pihak, hal lain yang gue sadari adalah: gue jarang bergaul, gue masih kaku             dengan sekitar gue. Hal ini membuat pengalaman gue dalam hubungan antara manusia masih               rendah. Sulit untuk membuat diri gue bisa tertawa bersama orang-orang yang menertawakan gue.

2. Mempermalukan adalah kata yang datang dari hati. Itu murni datang dari dalam diri seseorang.           Gue beranggapan seperti itu karena dia menunjukkan kesalahan gue berulang-ulang dengan                 sikap superior. Ngga tau gue yang mukanya kurang tebel atau memang itu sebuah tindakan ngga         pantas, gue masih belum bisa memastikan. Dipermainkan gue dapat dari cara dia bersikap terhadap     gue. Mulai dari joke-joke yang memiliki jebakan hingga cara menerangkan yang ngga                         menerangkan. Berkali-kali dia menjelaskan sesuatu ke gue, gue tetep ga ngerti. Sekali dijelasin           sama orang lain, gue langsung ngerti. Entah ini karena kurangnya kemampuan dia dalam                     menerangkan, atau dia memang mempermainkan gue, gue ga paham. Dan gue bener-bener merasa     diremehkan. Ngga, gue merasa gue ga lebay. Buktinya ada yang merasakan hal yang sama kayak       yang gue rasakan. Dan menurut gue, dia semakin menjadi-jadi ketika gue mengambil posisi 'aku         memang tidak tahu apa-apa' ketika dia mempermainkan gue. 

3. Yep, dia.bocah.ingusan. I'm 100% sure of it. Walaupun kemampuan dia lebih baik dari gue,                 prestasi dia lebih besar, dia lebih perfeksionis dari gue, dan lebih muda dari gue, Adalah empati           yang kurang dari dia. Lucunya, gue baru-baru ini dicap menjadi 'Ms. Lack of Empathy' untuk             beberapa temen-temen gue (which was devastating). Yep, gue akui gue sendiri masih ingusan.             Kebijaksanaan gue baru setinggi 1 mL air di dalam tandon air. Hanya... INGETIN GUE untuk             selalu mencari kebijaksanaan.

PR dari hari ini:
- selalu hargai semua orang seperti gue ingin dihargai
- perbanyak pergaulan, latihan menghadapi berbagai manusia
- muka badak 
- ikhlas, bersikap terbuka, kontrol ego
- belajar ngebalas hinaan dengan joke 
- CARI KEBIJAKSANAAN

Berproses tiap hari
Belajar tiap hari
Hindari lubang yang sama

Here I am

Saya terdiri dari jiwa dan raga
Saya terbelah menjadi otak kanan dan otak kiri
Saya terdistraksi oleh sentuhan, gelombang cahaya, gelombang suara, partikel udara, dan benda dalam mulut
Saya bergantung kepada organ-organ yang bekerja 24 jam
Saya adalah susunan asam nukleotida berlabel G, C, A, dan T

Saya unik
Individu yang hanya ada satu di dunia