Kamis, 20 November 2014

Masa Lalu


I just found this on my old blog. Still, I can completely understand this girl feeling. I think... there is part of me that doesn't change after 4 years

MASA LALU

Seorang gadis mungil duduk di ambang pintu. Gaunnya putih bersih. Rambutnya lurus lembut bagai satin hitam. Setiap hari, gadis itu duduk di sana. Menatap langit sambil menyenandungkan lagu sedih. Sebuah lagu dengan kata-kata yang hanya dimengerti olehnya. Terkadang, kau dapat melihat matanya menerawang. 

Hari ke hari, langit melihatnya. Langit penasaran.
"Hai, gadis mungil, apa yang kau lakukan di situ?" tanya langit.

"Aku menunggu," jawab gadis itu sambil tersenyum. Mata itu masih tetap menerawang.

"Menunggu?" balas langit, "Menunggu apa?"

"Hujan...,"

Dan gadis itu kembali ke dalam pikirannya. Memikirkan sesuatu yang tidak diketahui siapapun.

Hari ke hari, langit masih melihatnya.
Menunggu. Ya, pasti gadis itu menunggu hujan, pikir langit. 
Jadi, langit memeras awan-awannya dan menurunkan hujan.

Rintik-rintik kecil pun jatuh ke bumi. Menyapa gadis mungil yang menunggu. 
Menyadari hal itu, mata gadis mungil kembali ke saat kini. Kaki-kakinya mulai berlarian, kedua tangannya terbuka ke atas. Menyambut hujan.
Ia menari, berlarian, tertawa di tengah hujan. Seakan-akan kehidupan kembali kepadanya. Penuh energi dan vitalitas.

Langit yang melihat itu tersenyum. Geli melhat tingkah gadis mungil. 
Ia berkata, "Sudah, sudah, jangan terlalu lama bermain dengan hujan. Nanti kau jatuh sakit." 

"Hm...? Tapi ini hujan pertama sejak aku menunggu. Aku ingin berada di sini lebih lama lagi...," gadis mungil menengadah ke atas. Rautnya merengut tidak setuju.

"Nanti akan ku bawakan kau hujan yang lain. Sekarang kau harus masuk!" langit memperingatkan dengan senyum tersungging di bibirnya.

"Benar, ya?"

"Ya."

Dengan janji itu, sang gadis masuk ke dalam rumahnya. Hilang dari pandangan langit.

Menyadari gadis mungil telah hilang untuk sementara waktu, mau tidak mau langit kecewa. Jika hujan tidak datang, mungkin gadis itu masih berada dalam pandangannya, masih menunggu. Tetapi, langit tidak kuasa untuk tidak menurunkan hujan. Ia tidak ingin gadis itu menunggu...

Keesokan harinya, gadis itu kembali menunggu.
Kali ini ia menunggu, lalu menuntut.

"Mana hujan yang kau janjikan?"

"Nanti. Aku tidak bisa mengeluarkan hujan saat ini. Awan-awanku kering."

"Lalu, kapan aku bisa melihat hujan?"

"Jika aku sudah mendapatkan banyak air dari bumi, baru aku bisa menurunkan hujan."

"Air dari bumi? Apa bumi memberimu minum?"

"Bisa dikatakan demikian. Bumi mengirimkan air-air padaku lewat angin."

Dari sana, pertemanan antara gadis mungil dan langit dimulai. 
Mereka saling bertukar cerita. 
Langit menceritakan tentang teman-temannya.
Gadis mungil tentang kehidupannya.

Sesekali, untuk menyenangkan hati sang gadis, langit memberikan hujan yang menjalin hubungan diantara mereka. Dan, setiap saat langit melakukan hal itu, gadis mungil akan berlari keluar dari ambang pintu. Menari menyambut hujan.

Berbulan-bulan mereka melakukan hal itu.
Sang gadis untuk hujan yang dinantikannya.
Dan bagi langit agar dapat melihat gadis mungil.

Sampai suatu hari, langit menanyakan sebuah pertanyaan yang selama ini mengusiknya.

"Hei, mengapa kamu sangat ingin melihat hujan?"

"Melihat?"

"Ya, kau berkata kau menunggu di sana untuk hujan."

"Ah..., aku memang menunggu hujan... Tetapi bukan untuk melihat..." kata-kata gadis itu terputus. Jarang-jarang hal itu terjadi. Langit pun makin penasaran.

"Lalu, untuk apa?"

"Aku ingin merasakan. Setiap tetesan hujan. Setiap airnya yang jatuh di kulitku, suara rintik yang masuk ke telingaku, bau tanah yang menyapu hidungku. Semuanya itu mendatangkan kembali ingatan tentang kekasihku." gadis itu tersenyum.

"Kekasih?"

"Ya, kekasih."

Dan pembicaraan pun terhenti begitu gadis mungil kembali masuk ke dalam alam pikirannya sendiri.

Langit mendengar hal itu.
Dan langit merasakannya.
Sebentuk sakit yang muncul entah di mana.
Mengoyak-ngoyak dirinya dari dalam.
Layaknya petir mengusik awan-awan.

Hari itu hujan turun lebih deras dari biasanya.
Gadis mungil tahu itu.
Ada sesuatu yang berbeda pada hujan kali ini.
Hujan itu deras, menusuk-nusuk kulitnya. Dan mengandung sebuah kesedihan.
Seluruh kebahagiannya akan hujan tiba-tiba tersusupi oleh sebentuk kesedihan. Menguatkan kenangan-kenangan kabur yang ingin dikubur oleh gadis kecil.

Kekasihnya. 
Kekasih yang meninggalkannya.
Kekasih yang hatinya menetap pada gadis mungil, tetapi kakinya tetap berjalan mencari dunia. Mencari hutan dan gunung. Haus akan rasa dunia.

Ya, hari itu hujan juga turun dengan derasnya. 
Menusuk hati dan otak gadis mungil.
Meninggalkan pening yang dibawanya hingga tidur malam.

Perlahan, bulir-bulir air mata mengalir keluar dari mata cokelatnya. Tidak kentara dengan hujan yang memukul-mukul pipi.
Gadis mungil menangis.
Untuk apa?
Untuk kenangan buruk yang kembali timbul itukah?

Gelengan kecil otomatis dilakukannya.
Tidak. Ia tahu itu.
Ini bukan mengenai kekasihnya.
Ini mengenai langit, yang entah bagaimana dirasakannya sedang bersedih.
Ini mengenai langit, yang tiba-tiba terasa begitu jauh. Begitu sulit dijangkau.
Langit yang ketidakhadirannya menginggalkan lubang di hati gadis mungil.

Tersentak, gadis itu ketakutan.
Ia berteriak memanggil langit.
Berputar-putar dalam hujan mencari pribadi yang tertutup awan kelam itu.
Takut langit meninggalkannya.
Takut seseorang lain yang dicintainya juga pergi dari kehidupannya.

Tetapi langit telah pergi.
Ia menutup dirinya rapat-rapat dalam awan, matahari, bulan, dan bintang.
Tidak menoleh kepada gadis mungil.
Tidak ingin merasa keinginan memiliki pada hal yang tak bisa diraihnya.

***

Sore itu secercah warna oranye menghiasi keheningan langit.
Gadis mungil itu masih di sana, di ambang pintu dengan gaun putihnya.
Tetapi, jika ada yang menanyakan apa yang ditunggunya, ia akan menjawab:
“Aku menunggu langit menyapaku.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar