Kamis, 20 November 2014

Penyesalan - 2009

Satu. Dua. Tiga.
Pemuda itu mulai menghitung langkahnya lagi.
Duapuluh…
Ia kehilangan hitungan. Kali ini menyerah setelah hitungan tigapuluhan, ia berusaha terus menyeret langkahnya. Membuat dirinya terlihat seperti seorang pemabuk yang berjalan gontai. Tetapi ia tidak peduli dengan semua itu. Tidak dengan pakaian compang-campingnya. Tidak dengan rambut masai, jenggot tipis yang tumbuh bebas, atau bau badannya. Atau darah yang masih menetes di kemejanya. Tidak semua hal itu.
Kali ini bukan tentang dirinya. Bukan, bukan itu. Ini menyangkut hal lain.
Bapak…, Ibu…, Adik…
Kata-kata itu terus terulang di kepalanya. Bagai kata-kata magis yang dapat menghantarkan ketiga orang itu ke hadapannya. Kembali ke kehidupannya. Saat ini.
Tetapi, seiring dengan makin banyaknya kata-kata itu di otaknya, penyesalan makin meresap ke dalam dirinya.
Penyesalan, penyesalan. 
Ia tersenyum. Mengutuk dirinya sendiri.
Perlahan, ia melambatkan langkahnya. Tidak berusaha untuk terus melangkah. Menyadari tidak memiliki tujuan. Tidak memiliki rumah. Seiring dengan pemahaman yang menusuk tajam, ingatannya kembali ke masa-masa sebelumnya. Lebih segar daripada sebelumnya.
***
Pagi itu cerah dan menyenangkan, sangat cocok untuk melakukan kegiatan di luar. Tapi, itu bukan untuknya. Setengah mengeluh, ia membuka matanya. Perlahan, ia bangkit berdiri dari kasur, kemudian meregangkan otot-ototnya. Setelah puas melemaskan otot-ototnya, ia melihat jam di dinding.
Setengah sembilan. Terlalu pagi untuk hari Minggu. Tubuhnya masih ingin merasakan bantal dan selimut. Tetapi, ia tahu, ia tidak dapat tidur lagi. Sebentar lagi pasti akan datang seorang ‘pengurus rumah’ yang membangunkannya.
Dengan malas, ia keluar dari kamar. Menyeret langkahnya menuju ruang depan.
“Pagi, Kakak!” Ia merasa mendengar seseorang menyapanya. Ia membalikkan badan, dan mendapatkan seseorang dengan muka segar berseri-seri menatapnya. Malas mengucapkan sesuatu, ia hanya tersenyum asal.
“Kak! Hari ini kita mau ke mana? Keluar yuk!” Tangan-tangan kecil mulai menarik-narik piyama tidurnya. Mengharapkan perhatian.
Dasar anak kecil, pikirnya kesal. Mengutuk ‘pengurus rumah’ yang selalu membangunkannya dengan teriakan dan cengiran tidak penting.
“Mau ke mana?” Walau bertanya, ia tidak mengharapkan jawaban. Tidak mau mengacuhkan jawaban anak di depannya.
“Ke taman bermain! Ke taman bermain!” Melihat permintaannya ada harapan untuk menjadi kenyataan, anak itu mulai melompat-lompat riang mengelilingi kakaknya.
“Iya, nanti ya,” jawabnya asal. Benar-benar mau memanfaatkan arti ambigu dari kata ‘nanti’. Entah untuk berapa kali ia berlindung pada kata mujarab itu. Dan, untuk itu, ia berterima kasih pada orang yang menciptakan kata menyenangkan itu.
“Kapan?” Tanya anak itu, mulai curiga dengan setiap jawaban berunsur ‘nanti’.
“Kapan-kapan,” ia menjawab, kembali berlindung pada kata mujarab lainnya.
“Huh! Selalu begitu! Kakak selalu bilang, nanti, kapan-kapan,” keluh anak itu.
Pemuda itu hanya tersenyum. Tidak membalas keluhan adiknya.
Masalah selesai, tinggal menunggu hari ini berakhir tanpa gangguan dari anak ini.

Pemuda itu meringis mengingat kejadian itu. Sudah berapa lama ia dan adiknya tidak pergi keluar bareng. Sebulan, kah? Atau tiga bulan? Ah, yang penting sudah lama. Terlalu lama.
Padahal, ketika adiknya belum lahir, ia selalu memimpikan seorang adik. Adik yang bisa diajak bermain bersama, berantem bersama, atau pergi bersama.
“Hah…, padahal…, dulu aku selalu ingin punya teman main bola atau basket… Lalu, teman untuk pergi bareng… Mungkin sekedar ke mall atau taman kota…,” pemuda itu tersenyum membayangkan kemungkinan itu.
“Tapi sudah terlambat…,”

Senja telah tiba. Matahari mulai tenggelam dan membiaskan cahaya terakhirnya. Sore yang indah. Tetapi, itu tidak penting. Pemuda itu sekarang sedang menghadapi makanannya. Terburu-buru. Sebentar-sebentar, ia melirik jam tangannya.
Setengah jam lagi, dan ia harus sudah ada di depan pagar rumah pacarnya. Siap pergi bersama. Mengingat hal itu, ia semakin tergesa-gesa. Kemudian, merasa tidak mungkin mengejar waktu, ia berhenti. Meninggalkan sisa makanannya, lalu berlari menuju kamarnya.
Ia membongkar-bongkar lemari pakaiannya. Menemukan baju yang pas di bagian bawah tumpukan, lalu memakainya. Setelah selesai mematu-matutkan diri di cermin untuk beberapa saat, pemuda itu kembali keluar. Kali ini mencari sepatunya.
Tidak menemukan hal yang diinginkannya, ia berteriak, “Ibu…! Sepatuku mana? Yang warnanya biru itu.” Sambil berteriak, ia menemukan sebuah majalah otomotif lama. Membukanya, lalu tertarik pada satu halaman yang sudah dibacanya dulu.
“Ibu…?” Tanya pemuda itu lagi.
Tidak beberapa lama, Ibunya muncul. Siap menceramahinya.
“Kamu gimana, sih? Sepatumu harusnya ada di rak.” Omel wanita separuh baya itu.
“Tapi aku udah cari. Gak ada! Di mana, Bu? Aku buru-buru nih!” Pemuda itu bangkit. Mendekati rak sepatu, dan mengeluarkan satu per satu kotak yang ada di sana. Mengecek dalamnya.
“Kalau gitu ada di depan pintu. Dari kemarin kamu belum masukkin ke rak sepatu, kan?” Ibunya bertanya gemas.
“Ah, iya,” pemuda itu bergegas ke depan pintu. Mendapati sepatunya.
“Udah, ya, Bu!” Ia pun mengambil kunci motor lalu keluar.
“Hei! Ibu titip garam buat di rumah, ya!”
“Ah…, kan ada warung di depan, Bu. Nanti Ibu beli sendiri saja. Da, Ibu!”
“Hati-ha…,” kata-kata itu terputus. Pemuda itu sudah terlanjur tenggelam di kegelapan malam.

Kejadian lain. Singkat. Tetapi perasaan bersalah makin menghujamnya.
Jika diingat, ia tidak pernah membereskan piringnya. Selalu di sana. Di meja makan, tergeletak dengan berantakan. Satu kesalahan kecil yang menyusahkan ibunya.
Ia juga tidak pernah mencuci, melipat, atau menyetrika baju. Tidak. Ia lebih sering membongkar tumpukan baju sembarangan lalu membiarkannya di sana. Terlihat seperti onggokan kain kotor. Dua kesalahan kecil yang menyusahkan ibunya.
Tidak juga dengan perasaan hormat. Ia sangat sering menyuruh ibunya mencarikan barang-barang untuknya. Tiga kesalahan. Kali ini makin mengukuhkan kesalahannya.
Atau dengan salam perpisahan yang layak. Ia selalu meluncur pergi sebelum ibunya selesai bicara. Empat kesalahan. Kalau begitu, aku menganggap ibuku apa?
Bahkan, bantuan yang tidak menyusahkan tidak pernah ditanggapinya dengan benar.
…, apa aku menganggap ibuku sebagai pembantu?
“Hah…, kenapa ketika sudah terlambat seperti ini aku baru menyadarinya?”

Malam. Malam menjelang. Menutupi semua hal dengan hitam kelamnya. Untuk menonjolkan rembulan pucat yang bersinar keperakan. Sementara orang lain akan terperangah dengan sinar rembulan, pemuda itu sibuk dengan I-pod dan earphone di telinganya. Sibuk menangkap suara-suara bising yang dihasilkan alat elektronik itu. Jari-jarinya menghentak-hentak di kemudi mobil. Ia telah larut dalam dunianya sendiri.
“Kak, kalau nyetir hati-hati. Kalau tidak, Bapak gantikan saja, ya?” Bapaknya di sana. Di kursi depan. Cemas dengan cara menyetir anaknya.
Pemuda itu tidak mendengar. Ia masih sibuk dengan lagu yang menghentak di telinganya.
Melihat cara menyetir anaknya, sang bapak hanya dapat mengeleng-geleng frustasi. Tetapi, masih ada hal yang membuat jantungnya tidak tenang.
“Kak, kamu sudah periksa ban belakang, kan? Mesin sudah diperiksakan? Rem aman, kan?” Bapaknya menanyakan pertanyaan bertubi. Mengharapkan jawaban yang memuaskan dari anaknya.
“Hmm…,” jawaban singkat. Antara ya, dan tidak. Tidak ada yang pernah tahu. Ia sendiri lupa maksud dari dehamannya itu.
“Kak, kamu jangan main-main, ya. Kamu sudah besar. Dan, sekarang ini, kalau kamu gak awas, kamu bisa bikin kita kece…,”

-lakaan
Ya, pasti hal itulah yang ingin disampaikan Bapak. Walau Bapak tidak sempat menyelesaikan kata-katanya, sekarang aku tahu apa maksudnya. Seketika itu aku tahu.

Belum sempat Bapaknya menyelesaikan kata-katanya, warna hitam pekat telah mendekati mobil mereka. Dengan cepat, jalan itu berbelok. Tidak tajam, tetapi pemuda itu tidak sempat memutar roda mobil atau bahkan hanya untuk mengerem.
Mobil mereka meluncur mulus ke dalam kegelapan jurang.

Satu…, dua…, tiga….
Pemuda itu kembali mencoba untuk berhitung. Mencoba meneruskan langkahnya.
Penyesalan, ya, penyesalan selalu datang terlambat. Sangat terlambat.
Hingga tidak ada waktu untuk memperbaikinya.
Sangat ingin ia memperbaikinya. Tapi. Waktu tidak dapat diputar. Kejadian yang sudah terjadi tidak dapat dihapus.
Terlambat, terlambat. Semuanya selalu terlambat.
Ia hanya bisa mengubah masa depan. Mengatur ulang kehidupannya yang akan datang.
Mencoba tersenyum pada bulan tipis dan mentari pagi, ia meneruskan langkahnya. Mengingat-ingat semua kenangan untuk dijadikan pegangan hari esok.
Untuk dirinya yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar